Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra mengungkap sejarah kelam
kelahiran pasal penghinaan presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP). Menurutnya, pasal tersebut semula bertujuan untuk
melindungi Ratu Belanda dari hinaan pribumi saat masa penjajahan Belanda
di tanah air puluhan tahun lalu.
“Tapi setelah kita merdeka, dianggap (pasal penghinaan) bisa berlaku
untuk presiden. Saya sendiri tidak sependapat dengan hal itu,” kata
Yusril di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (4/8).
Pengacara Dahlan Iskan itu menilai usulan pemerintah untuk
menghidupkan pasal penghinaan presiden dalam revisi RUU KUHP yang akan
digodok bersama Dewan Perwakilan Rakyat mulai akhir Agustus ini dapat
menimbulkan masalah di masa depan.
Jika pasal tersebut nantinya lolos dan kembali tercantum dalam UU KUHP, uji materi dapat diajukan lagi oleh masyarakat.
“Nanti kita lihat seperti apa pembahasannya di DPR. DPR juga bisa
tidak menyetujui pasal itu. Tapi kalau sudah disahkan menjadi
Undang-Undang, ya orang bisa menguji lagi di Mahkamah Konstitusi apakah
pasal itu bertentangan atau tidak dengan UUD 1945,” ujar Yusril.
Pasal penghinaan terhadap presiden sesungguhnya saat ini telah hilang
dari KUHP setelah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2006. Namun
pemerintah kembali memasukkannya ke dalam draf revisi RUU KUHP yang
diserahkan ke DPR awal Juni lalu.
Yusril berpendapat MK dapat berubah sikap dalam melihat posisi pasal
penghinaan presiden di KUHP jika pasal itu nantinya diterima DPR. “MK
juga sudah berapa kali merasa tidak terikat dengan putusan yang dibuat
sebelumnya meski materinya sama,” kata dia.
Pasal penghinaan presiden yang telah dibatalkan MK, “Setiap orang
yang di muka umum menghina Presiden dan Wakil Presiden, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 tahun dan pidana denda paling banyak
Kategori IV.”
Ruang lingkup pasal penghinaan presiden itu kini diperluas lewat
Pasal 264 Rancangan UU KUHP yang berbunyi, “Setiap orang yang
menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar
sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga
terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil
Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih
diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau
pidana denda paling banyak Kategori IV.”
Secara terpisah, Ketua Komisi Hukum DPR Aziz Syamsuddin mengatakan
pasal Penghinaan Presiden tidak bisa dihidupkan kembali karena telah
dibatalkan MK. “Berdasarkan asas hukum yang berlaku, sesuatu yang
dibatalkan di MK tidak bisa lagi dibahas atau dihidupkan kembali,” kata
dia.
Menurut politikus Golkar itu, putusan MK bersifat final dan mengikat.
Selama ini belum ada satu pasal dibahas kembali setelah dibatalkan MK
atau dibatalkan dua kali berturut-turut oleh MK.
(rz/cnnindonesia/eramuslim/internansews)
Tuesday, August 4, 2015


Subscribe to:
Post Comments (Atom)