Di antara kelaziman hidup bermasyarakat adalah budaya saling
mengunjungi atau bertamu, yang dikenal dengan isitilah silaturrahmi oleh
kebanyakan masyarakat. Walaupun sesungguhnya istilah silaturrahmi itu
lebih tepat (dalam syari’at) digunakan khusus untuk berkunjung/ bertamu
kepada sanak famili dalam rangka mempererat hubungan kekerabatan.
Namun, bertamu, baik itu kepada sanak kerabat, tetangga, relasi, atau
pihak lainnya, bukanlah sekedar budaya semata melainkan termasuk perkara
yang dianjurkan di dalam agama Islam yang mulia ini. Karena
berkunjung/bertamu merupakan salah satu sarana untuk saling mengenal dan
mempererat tali persaudaraan terhadap sesama muslim.
Allah
berfirman: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian
dari seorang laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kalian
berbangsa-bangsa, dan bersuku-suku, supaya kalian saling mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah
adalah orang yang paling bertaqwa.” (Al Hujurat: 13)
Rasulullah bersabda:
إِذَا عَادَ الرَّجُلُ أَخَاهُ أَوْ زَارَهُ ، قَالَ اللهُ لَهُ : طِبْتَ وَطِابَ مَمْشَاكَ وَتَبَوَّأْتَ مَنْزِلاً فِي الْجَنَّةِ
“Bila seseorang mengunjungi saudaranya, maka Allah berkata kepadanya:
“Engkau dan perjalananmu itu adalah baik, dan engkau telah menyiapkan
suatu tempat tinggal di al jannah (surga).” (Shahih Al Adabul Mufrad no.
345, dari shahabat Abu Hurairah )
Namun yang tidak boleh
dilupakan bagi orang yang hendak bertamu adalah mengetahui adab-adab dan
tata krama dalam bertamu, dan bagaimana sepantasnya perangai (akhlaq)
seorang mukmin dalam bertamu. Karena memiliki dan menjaga perangai
(akhlaq) yang baik merupakan tujuan diutusnya
Rasulullah , sebagaimana
beliau bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُ تَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ
“Sesungguhnya aku diutus dalam rangka menyempurnakan akhlaq (manusia).”
Oleh karena itu, pada kajian kali ini, akan kami sebutkan beberapa
perkara yang hendaknya diperhatikan dalam bertamu. Di antaranya sebagai
berikut:
1. Beri’tikad Yang Baik
Di dalam bertamu
hendaknya yang paling penting untuk diperhatikan adalah memilki i’tikad
dan niat yang baik. Bermula dari i’tikad dan niat yang baik ini akan
mendorong kunjungan yang dilakukan itu senantiasa terwarnai dengan rasa
kesejukan dan kelembutan kepada pihak yang dikunjungi.
Bahkan
bila ia bertamu kepada saudaranya karena semata-mata rasa cinta karena
Allah dan bukan untuk tujuan yang lainnya, niscaya Allah akan
mencintainya sebagaimana ia mencintai saudaranya. Sebagaimana Rasulullah:
مَدْرَحَتِهِ ، فَقَالَ : أَيْنَ تُرِيْدُ ؟ قَالَ : أَخًا لِي
فِي هَذِهِ الْقَرْيَةِ. فَقَالَ : هَلْ لَهُ عَلَيْكَ مِنْ نِعْمَةٍ
تَرُبُّهَا ؟ لاَ قَالَ : أُحِبُّهُ فِي اللهِ. قَالَ : فَإِنِّي رَسُولُ
اللهِ إِلَيْكَ ، أَنَّ اللهَ أَحَبَّكَ كَمَا أَحْبَبْتَهُ
“Ada
seseorang yang berkunjung kepada saudaranya di dalam suatu kampung, maka
Allah mengirim malaikat untuk mengawasi arah perjalanannya. Ia
(malaikat) bertanya kepadanya: “Mau kemana anda pergi? Ia menjawab:
“Kepada saudaraku yang ada di kampung ini. Malaikat berkata: “Apakah dia
memiliki nikmat (rizki) yang akan diberikan kepada engkau. Dia
menjawab: “Tidak, semata-mata saya mencintainya karena Allah. Malaikat
berkata: “Sesungguhnya saya diutus oleh Allah kepadamu. Sesungguhnya
Allah mencintaimu sebagaimana kamu mencintai saudaramu.” (Shahih Al
Adabul Mufrad no. 350, Ash Shahihah no. 1044)
2. Tidak Memberatkan Bagi Tuan Rumah
Hendaknya bagi seorang tamu berusaha untuk tidak membuat repot atau
menyusahkan tuan rumah, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah:
لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُقِيْمَ عِنْدَ أَخِيْهِ حَتَّى يُؤْثِمَهُ.
قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ وَكَيْفَ يُؤْثِمُهُ؟ قَالَ: يُقِيْمُ
عِنْدَهُ وَلاَ شَيْءَ لَهُ يَقْرِيهِ بِهِ
“Tidak halal bagi
seorang muslim untuk tinggal di tempat saudaranya yang kemudian
menyakitinya. Para shahabat bertanya: “Bagaimana bisa dia
menyakitinya?” Beliau menjawab: “Dia tinggal di tempat saudaranya,
padahal saudaranya tersebut tidak memiliki sesuatu yang bisa disuguhkan
kepadanya.” (HR. Muslim)
Al Imam An Nawawi berkata: “Karena
keberadaan si tamu yang lebih dari tiga hari itu bisa mengakibatkan tuan
rumah terjatuh dalam perbuatan ghibah, atau berniat untuk menyakitinya
atau berburuk prasangka (kecuali bila mendapat izin dari tuan rumah).”
(Lihat Syarh Shahih Muslim 12/28)
3. Memilih Waktu Berkunjung
Hendaknya bagi orang yang ingin bertamu juga memperhatikan dengan
cermat waktu yang tepat untuk bertamu. Karena waktu yang kurang tepat
terkadang bisa menimbulkan perasaan yang kurang baik dari tuan rumah
bahkan tetangganya.
Dikatakan oleh shahabat Anas :
كَانَ رَسُولُ اللهِ لاَ يَطْرُقُ أَهْلَهُ لَيْلاً وَكَانَ يَأْتِيْهِمْ غُدْوَةً أَوْ عَشِيَّةً
“Rasulullah tidak pernah mengetuk pintu pada keluarganya pada waktu
malam. Beliau biasanya datang kepada mereka pada waktu pagi atau sore.”
(Muttafaqun ‘Alaihi)
Demikianlah akhlak Nabi , beliau memilih
waktu yang tepat untuk mengunjungi keluarganya, lalu bagaimana lagi jika
beliau hendak bertamu/mengunjungi orang lain (shahabatnya)? Tentunya
kita semua diperintahkan untuk meneladani beliau.
4. Meminta Izin Kepada Tuan Rumah
Hal ini merupakan pengamalan dari perintah Allah di dalam firman-Nya
(artinya): “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki
rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada
penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu agar kamu selalu
ingat.” (An Nur: 27)
Di dalam ayat tersebut, Allah memberikan
bimbingan kepada kaum mukminin untuk tidak memasuki rumah orang lain
tanpa seizin penghuninya. Di antara hikmah yang terkandung di dalamnya
adalah:
Untuk menjaga pandangan mata. Rasulullah bersabda:
إِنَّمَاجُعِلَ اْلاسْتِئْذَانُ مِنْ أَجْلِ الْبَصَرِ
“Meminta izin itu dijadikan suatu kewajiban karena untuk menjaga pandangan mata.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Rumah itu seperti penutup aurat bagi segala sesuatu yang ada di
dalamnya sebagaimana pakaian itu sebagai penutup aurat bagi tubuh. Jika
seorang tamu meminta izin kepada penghuni rumah terlebih dahulu, maka
ada kesempatan bagi penghuni rumah untuk mempersiapkan kondisi di dalam
rumahnya tersebut. Sehingga tidaklah dibenarkan ia melihat ke dalam
rumah melalui suatu celah atau jendela untuk mengetahui ada atau
tidaknya tuan rumah sebelum dipersilahkan masuk.
Di antara
mudharat yang timbul jika seseorang tidak minta izin kepada penghuni
rumah adalah bahwa hal itu akan menimbulkan kecurigaan dari tuan rumah,
bahkan bisa-bisa dia dituduh sebagai pencuri, perampok, atau yang
semisalnya, karena masuk rumah orang lain secara diam-diam merupakan
tanda kejelekan. Oleh karena itulah Allah melarang kaum mukminin untuk
memasuki rumah orang lain tanpa seizin penghuninya. (Taisirul Karimir
Rahman, Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’di)
Bagaimana Tata Cara Meminta Izin?
Para pembaca, dalam masalah meminta izin Rasulullah telah memberikan
sekian petunjuk dan bimbingan kepada umatnya, di antaranya adalah:
a. Mengucapkan salam
Diperintahkan untuk mengucapkan salam terlebih dahulu, sebagaimana ayat di atas (An Nur: 27).
Pernah salah seorang shahabat beliau dari Bani ‘Amir meminta izin
kepada Rasulullah yang ketika itu beliau sedang berada di rumahnya.
Orang tersebut mengatakan: “Bolehkah saya masuk?” Maka Rasulullah pun
memerintahkan pembantunya dengan sabdanya:
اخْرُجْ إِلَى هَذَا فَعَلِّمْهُ الاسْتِئْذَانَ ، فَقُلْ لَهُ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَأَدْخُلُ ؟
“Keluarlah, ajari orang ini tata cara meminta izin, katakan kepadanya: Assalamu ‘alaikum, bolehklah saya masuk?
Sabda Rasulullah tersebut didengar oleh orang tadi, maka dia mengatakan:
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَأَدْخُلُ؟
Akhirnya Nabi pun mempersilahkannya untuk masuk rumah beliau. (HR. Abu Dawud)
Lihatlah wahai pembaca, perkataan “Bolehkah saya masuk” atau yang
semisalnya saja belum cukup. Bahkan Nabi memerintahkan untuk mengucapkan
salam terlebih dulu.
Bahkan mengucapkan salam ketika bertamu
juga merupakan adab yang pernah dicontohkan oleh para malaikat (yang
menjelma sebagai tamu) yang datang kepada Nabi Ibrahim u sebagaimana
yang disebutkan oleh Allah di dalam firman-Nya (artinya): “Ketika mereka
masuk ke tempatnya lalu mengucapkan salam.” (Adz Dzariyat: 25)
b. Meminta izin sebanyak tiga kali
Rasulullah bersabda:
الاسْتِئْذَانُ ثَلاَثٌ، فَإِنْ أُذِنَ لَكَ وَإِلاَّ فَارْجِعْ
“Meminta izin itu tiga kali, apabila diizinkan, maka masuklah, jika tidak, maka kembalilah.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Hadits tersebut memberikan bimbingan kepada kita bahwa batasan akhir
meminta izin itu tiga kali. Jika penghuni rumah mempersilahkan masuk
maka masuklah, jika tidak maka kembalilah. Dan itu bukan merupakan suatu
aib bagi penghuni rumah tersebut atau celaan bagi orang yang hendak
bertamu, jika alasan penolakan itu dibenarkan oleh syari’at. Bahkan hal
itu merupakan penerapan dari firman Allah (artinya): “Jika kamu tidak
menemui seorang pun di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu
mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu: “Kembalilah, maka hendaklah
kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.” (An Nur: 28)
5. Mengenalkan Identitas Diri
Ketika Rasulullah menceritakan tentang kisah Isra’ Mi’raj, beliau
bersabda: “Kemudian Jibril naik ke langit dunia dan meminta izin untuk
dibukakan pintu langit. Jibril ditanya: “Siapa anda?” Jibril menjawab:
“Jibril.” Kemudian ditanya lagi: “Siapa yang bersama anda?” Jibril
menjawab:
“Muhammad.” Kemudian Jibril naik ke langit kedua, ketiga,
keempat, dan seterusnya di setiap pintu langit, Jibril ditanya: “Siapa
anda?” Jibril menjawab: “Jibril.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Sehingga
Al Imam An Nawawi rahimahullah dalam kitabnya yang terkenal Riyadhush
Shalihin membuat bab khusus, “Bab bahwasanya termasuk sunnah jika
seorang yang minta izin (bertamu) ditanya namanya: “Siapa anda?” maka
harus dijawab dengan nama atau kunyah (panggilan dengan abu fulan/ ummu
fulan) yang sudah dikenal, dan makruh jika hanya menjawab: “Saya” atau
yang semisalnya.”
Ummu Hani’, salah seorang shahabiyah Rasulullah
mengatakan:”Aku mendatangi Nabi ketika beliau sedang mandi dan Fathimah
menutupi beliau. Beliau bersabda: “Siapa ini?” Aku katakan: “Saya Ummu
Hani’.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Demikianlah bimbingan Nabi yang
langsung dipraktekkan oleh para shahabatnya, bahkan beliau pernah marah
kepada salah seorang shahabatnya ketika kurang memperhatikan adab dan
tata cara yang telah beliau bimbingkan ini. Sebagaimana dikatakan oleh
Jabir :”Aku mendatangi Nabi, kemudian aku mengetuk pintunya, beliau
bersabda: “Siapa ini?” Aku menjawab: “Saya.” Maka beliau pun bersabda:
“Saya, saya..!!.” Seolah-olah beliau tidak menyukainya.” (Muttafaqun
‘Alaihi)
6. Menyebutkan Keperluannya
Di antara adab
seorang tamu adalah menyebutkan urusan atau keperluan dia kepada tuan
rumah. Supaya tuan rumah lebih perhatian dan menyiapkan diri ke arah
tujuan kujungan tersebut, serta dapat mempertimbangkan dengan waktu/
keperluannya sendiri. Hal ini sebagaimana Allah mengisahkan para
malaikat yang bertamu kepada Ibrahim u di dalam Al Qur’an (artinya):
“Ibrahim bertanya: Apakah urusanmu wahai para utusan?” Mereka menjawab:
“Sesungguhnya kami diutus kepada kaum yang berdosa.” (Adz Dzariyat: 32)
7. Segera Kembali Setelah selesai Urusannya
Termasuk pula adab dalam bertamu adalah segera kembali bila
keperluannya telah selesai, supaya tidak mengganggu tua rumah.
Sebagaimana penerapan dari kandungan firman Allah : “…tetapi jika kalian
diundang maka masuklah, dan bila telah selesai makan kembalilah tanpa
memperbanyak percakapan,…” (Al Ahzab: 53)
8. Mendo’akan Tuan Rumah
Hendaknya seorang tamu mendoakan atas jamuan yang diberikan oleh tuan
rumah, lebih baik lagi berdo’a sesuai dengan do’a yang telah dituntunkan
Nabi , yaitu:
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمْ فِيْ مَا رَزَقْتَهُمْ وَ اغْفِرْ لَهُمْ وَ ارْحَمْهُمْ
“Ya Allah…, berikanlah barakah untuk mereka pada apa yang telah Engkau
berikan rizki kepada mereka, ampunilah mereka, dan rahmatilah mereka.”
(HR. Muslim)
Demikianlah tata cara bertamu, mudah-mudahan
pembahasan ini menjadi bekal bagi kita (kaum muslimin) untuk lebih
bersikap sesuai dengan bimbingan Nabi dalam bertamu. Wallahu a’lam bis
showab.
Sumber: FP Al-Qur'an Dan Hadist
Wednesday, July 8, 2015
![](http://static.ak.fbcdn.net/rsrc.php/v1/yH/r/eIpbnVKI9lR.png)
![](http://www.blogger.com/img/icon_logo32.gif)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)