Sunday, August 2, 2015

Ustadz Fadzlan Garamatan: Melihat Tragedi Tolikara, Saya Malu sebagai Anak Irian

Pimpinan Al Fatih Kaffaah Nusantara (AFKN) Ustadz Fadzlan Garamatan yang ditunjuk sebagai Koodinator Tim Pencari Fakta Komite Umat untuk Tolikara mengaku sedih dan malu atas tragedi yang terjadi di Tolikara, Papua, 17 Juli 2015 lalu.

“Sebagai anak Irian, saya malu terhadap bangsa Indonesia, baik yang muslim maupun non muslim, mengingat kejadian seperti ini tak pernah terjadi sebelumnya. Sungguh, apa yang terjadi di Tolikara telah melukai hati kami,” kata Fadzlan, pemuda asli Fakfak ini.

Ustadz Fadzlan menyatakan kesedihannya yang mendalam atas saudara-saudara Muslim di Tolikara. Sejak pukul 06.00 WITA, umat Islam sudah berkumpul untuk melakukan shalat I’ed di lapangan Koramil. Pada takbir ketujuh, tiba-tiba lemparan batu, kayu dan seng diarahkan pada umat Islam yang sedang shalat.

Saat dipertontonkan video amatir detik-detik penyerangan, terdengan suara teriakan khas Irian, seperti halnya perang antar suku, seraya mengancam untuk menghentikan shalat. Maka pada takbir ketujuh, shalat I’ed terpaksa tak bisa dilanjutkan, mengingat serangan yang terencana itu begitu massif. Terlihat dalam video tersebut, situasi yang sangat mencekam, terdengar beberapa kali suara letusan senjata polisi pada massa yang kesetanan.

Ustadz Fadzlan mengaku heran, kegiatan Seminar dan Kebaktian Kebangkitan Ruhani (KKR) Pemuda Geraja Injili Di Indonesia (GIDI) tingkat Internasional pada tanggal 13-19 Juli 2015, akan digelar siang harinnya, sedangkan umat Islam melaksanan shalat pada pagi harinya.

“Di Irian itu, perang antar suku itu biasa. Tapi tidak pernah melibatkan Islam ataupun Kristen. Selama ini kami saling menjaga. Berdasarkan wawancara kami dengan warga yang menjadi korban kekerasan, mereka tidak mengenal massa yang menyerang. Ini menunjukkaan penyerangnya bukan dari warga Tolikara, melainkan dari luar Tolikara. Masyarakat adat mengatakan, toleransi umat beragama di sana selalu baik, tidak ada masalah. Tolikara itu bagian dari NKRI, bukan GIDI. Maka, majulah Tolikara bersama umat Islam maupun Kristen, Katolik serta Advent,” jelas Fadzlan.

Seperti diberitakan media massa, terjadi simpang siur mengenai kondisi yang sesungguhnya terjadi di lapangan, misalnya mana yang lebih dulu dibakar, masjid atau kios? Ustadz Fadzlan mengatakan, yang dibakar adalah kios terlebih dulu. Sedang kios dengan masjid hanya berjarak 20 meter. Kios yang dibakar itu kemudian merembet pada bangunan masjid.

Tersebar kabar, pasca tragedi Tolikara, sekitar 200 orang berbondong-bondong masuk Islam. Terkait berita tersebut, Ust Fadzlan menyebut berita itu menyesatkan alias tidak benar. Begitu juga berita perihal bendera Israel yang ada di sejumlah rumah dan kios-kios, dikatakan masyarakat Papua di Tolikara tidak tahu itu bendera Israel. Benarkah?

“Mereka tahu itu bendera Israel. Kalau mereka menonton sepakbola yang ada bendera negara tertentu, seperti bendera Belanda, jelas mereka tahu,” ungkap Fadzlan sambil tersenyum.

GIDI Ogah Bertemu TPF

Selama melakukan investigasi, TPF Komite Tolikara tidak pernah berhasil menemui Presiden GIDI,Pdt. Dorman Wandikmbo. Ketika difasilitas oleh Pemerintah Daerah setempat, Presiden GIDI selalu berdalih sibuk, tidak ada ditempat, dan masih ada urusan.

Hingga keesokan harinya pun masih saja beralasan yang sama. Sementara TPF dikejar waktu untuk segera menyampaikan laporannya di Jakarta, seperti yang diamanatkan oleh Komite Umat (Komat). Ada kesan Bupati setempat seperti tidak memberi jalan bertemunya TPF dengan Presiden GIDI. Selama di Tolikara, TPF hanya bertemu dengan pihak Kapolres, korban, Kepala Dinas PU dan Sosial.

Temuan Tim Pencafri Fakta (TPF) ini rencananya akan disampaikan ke pihak terkait, seperti Panglima TNI, Polri, Komnas HAM, MUI dan sejumlah organisasi Persatuan Gereja Indonesia, termasuk KWI. Komite Umat untuk Tolikara menegaskan, permasalahan ini jangan dianggap enteng. Tragedi Tolikara berdasarkan fakta yang ditemui TPF, dapat dikategorikan Pelanggaran berat HAM.

Ketua Harian Komite Ustadz Bachtiar Nasir menambahkan, terjadi intoleransi yang mengarah pada radikalisme di Tolikara. Adalah hak prerogatif presiden jika mengundang pengurus GIDI ke Istana Negara. Namun, seharusnya, Presiden mengundang pihak umat islam yang dizalimi disana. Bukan sebaliknya.
(Desastian/Islampos/internasnews)
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment