Pengamat Sosiolog dari Universitas Ibnu Chaldun – Jakarta, Musni Umar, dalam makalahnya yang berjudul Konflik Tolikara-Papua, Motif dan Solusinya,
mengecam keras umat Nasrani dari Gidi (Gereja Injili di Indonesia) yang
menyerang umat Islam saat melaksanakan shalat Idul Fitri 1 Syawal 1436 H
di Markas Korem 1702-11 di Tolikara.
“Pada hal umat Islam dimanapun tidak pernah melakukan tindakan barbar
yang melarang, apalagi mengusir umat Nasrani yang sedang melaksanakan
ibadah,” kata Musni dalam diskusi publik Di Balik Kerusuhan Tolikara, Ancaman Keutuhan NKRI belum lama ini (29/07/2015).
Sebagai pengamat sosiologi, kata Musni, ada masalah besar yang
dihadapi masyarakat Tolikara. Pertama, kurang pendidikan. Merujuk
pernyataan Anies Baswedan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI pada
saat buka puasa Kahmi di rumah dinasnya di Widya Chandra Jakarta Selatan
beberapa hari menjelang Idul Fitri 1436 H bahwa 76 persen pendidikan
masyarakat Indonesia hanya tamat SMP ke bawah, dan hanya 6 persen yang
berpendidikan sarjana.
“Dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan masyarakat Tolikara pasti
tidak jauh berbeda seperti yang diungkapkan Menteri Anies Baswedan. Ini
masalah besar karena mereka yang berpendidikan rendah bukan saja mudah
disulut untuk konflik, tetapi hampir dipastikan mereka hidup miskin dan
terbelakang,” jelas Musni.
Kedua, lanjut Musni, kesenjangan sosial ekonomi. Konsekuensi
logis dari kurangpendidikan, maka masyarakat asli Tolikara tidak bisa
bersaing dalam bidang ekonomi. Akibatnya pendatang yang pada umumnya
Muslim lebih menguasai ekonomi, sehingga terjadi kesenjangan ekonomi
yang kemudian menghadirkan kecemburuan sosial. Hal tersebut menjadi
salah satu pemicu konflik horizontal di Tolikara.
“Masalah ketiga, penjajahan ekonomi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa
di negeri ini masih terjadi penjajahan ekonomi. Masyarakat Tolikara
merasakan hal itu. Papua yang kekayaan alamnya luar biasa, masyarakatnya
masih hidup miskin dan terbelakang. Jika ada yang memicu, maka mereka
segera melampiaskan kemarahan dengan melakukan konflik seperti konflik
Tolikara,” ungkap Musni.
Lebih lanjut Musni menuturkan poin keempat yaitu ketidak-adilan dalam
berbagai bidang. Ia menilai masyarakat Tolikara juga merasakan
banyaknya ketidakadilan dalam bidang ekonomi, sosial, hukum dan
sebagainya, sehingga mudah disulut untuk melakukan konflik. Berbagai
ketidakadilan merupakan hotspot atau sumbu konflik yang setiap saat bisa
melahirkan konflik horizontal dan vertikal.
“Belajar dari konflik Aceh, dan konflik Papua, keduanya merupakan
konflik vertikal. Begitu pula konflik Ambon, konflik Poso dan konflik
lainnya di Indonesia, yang pada umumnya merupakan konflik horizontal.
Maka, konflik Tolikara dipicu tiga faktor: motif ekonomi, ketidakadilan
dalam berbagai bidang, dan gerakan separatis,” papar Musni.
(Desastian/Islampos/internasnews)
Thursday, July 30, 2015


Subscribe to:
Post Comments (Atom)