Thursday, July 30, 2015

Sosiolog: Inilah Tiga Masalah Besar di Tolikara

Pengamat Sosiolog dari Universitas Ibnu Chaldun – Jakarta, Musni Umar, dalam makalahnya yang berjudul Konflik Tolikara-Papua, Motif dan Solusinya, mengecam keras umat Nasrani dari Gidi (Gereja Injili di Indonesia) yang menyerang umat Islam saat melaksanakan shalat Idul Fitri 1 Syawal 1436 H di Markas Korem 1702-11 di Tolikara.
 
“Pada hal umat Islam dimanapun tidak pernah melakukan tindakan barbar yang melarang, apalagi mengusir umat Nasrani yang sedang melaksanakan ibadah,” kata Musni dalam diskusi publik Di Balik Kerusuhan Tolikara, Ancaman Keutuhan NKRI belum lama ini (29/07/2015).

Sebagai pengamat sosiologi, kata Musni, ada masalah besar yang dihadapi masyarakat Tolikara. Pertama, kurang pendidikan. Merujuk pernyataan Anies Baswedan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI pada saat buka puasa Kahmi di rumah dinasnya di Widya Chandra Jakarta Selatan beberapa hari menjelang Idul Fitri 1436 H bahwa 76 persen pendidikan masyarakat Indonesia hanya tamat SMP ke bawah, dan hanya 6 persen yang berpendidikan sarjana.

“Dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan masyarakat Tolikara pasti tidak jauh berbeda seperti yang diungkapkan Menteri Anies Baswedan. Ini masalah besar karena mereka yang berpendidikan rendah bukan saja mudah disulut untuk konflik, tetapi hampir dipastikan mereka hidup miskin dan terbelakang,” jelas Musni.

Kedua, lanjut Musni, kesenjangan sosial ekonomi. Konsekuensi logis dari kurangpendidikan, maka masyarakat asli Tolikara tidak bisa bersaing dalam bidang ekonomi. Akibatnya pendatang yang pada umumnya Muslim lebih menguasai ekonomi, sehingga terjadi kesenjangan ekonomi yang kemudian menghadirkan kecemburuan sosial. Hal tersebut menjadi salah satu pemicu konflik horizontal di Tolikara.

“Masalah ketiga, penjajahan ekonomi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa di negeri ini masih terjadi penjajahan ekonomi. Masyarakat Tolikara merasakan hal itu. Papua yang kekayaan alamnya luar biasa, masyarakatnya masih hidup miskin dan terbelakang. Jika ada yang memicu, maka mereka segera melampiaskan kemarahan dengan melakukan konflik seperti konflik Tolikara,” ungkap Musni.

Lebih lanjut Musni menuturkan poin keempat yaitu ketidak-adilan dalam berbagai bidang. Ia menilai masyarakat Tolikara juga merasakan banyaknya ketidakadilan dalam bidang ekonomi, sosial, hukum dan sebagainya, sehingga mudah disulut untuk melakukan konflik. Berbagai ketidakadilan merupakan hotspot atau sumbu konflik yang setiap saat bisa melahirkan konflik horizontal dan vertikal.

“Belajar dari konflik Aceh, dan konflik Papua, keduanya merupakan konflik vertikal. Begitu pula konflik Ambon, konflik Poso dan konflik lainnya di Indonesia, yang pada umumnya merupakan konflik horizontal. Maka, konflik Tolikara dipicu tiga faktor: motif ekonomi, ketidakadilan dalam berbagai bidang, dan gerakan separatis,” papar Musni.
(Desastian/Islampos/internasnews)
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment